Kamis, 21 Januari 2010

Drs H. A. Sholeh Dimyathi, MF, MM: Dengan Imtak Menengahi Tawuran

Kata Kunci: kepala SMK 56 jakarta, metode iman dan takwa, sholeh dimyati

Oleh: Fetty Shinta Lestari/Dok.Pena

Terpilih sebagai kepala sekolah berprestasi tingkat DKI Jakarta 2006. Ia menggagas model Imtak untuk membina pekerti siswa dan sebagai solusi masalah tawuran pelajar. Berkali-kali juara di ajang Lomba Kompetensi Guru.

JULUKANNYA “kepala sekolah bagian luar negeri”. Soalnya, hampir tiap hari setelah pukul 10 pagi ia tidak ada di sekolah. Bukan karena dia suka keluyuran tanpa juntrungan, melainkan karena dia mengemban segudang tugas. Antara lain, ia menjadi ketua jaringan pengembang kurikulum, ketua MGMP Pendidikan Agama Islam SMK se-DKI Jakarta, ketua Imtak (Iman dan Takwa) dan ketua KKKS Kejuruan Jakarta Utara. Di antara kesibukannya itu, ia juga masih menyempatkan diri mengajar mengaji dan menjadi pengkhotbah (khatib) pada salat Jumat.

Siapa dia? Dia adalah Drs HA Sholeh Dimyathi, MF, MM, Kepala SMK Negeri 56 Jakarta. Pada tahun 2006, berkat setumpuk prestasinya, Sholeh terpilih sebagai Kepala Sekolah Berprestasi tingkat DKI Jakarta. Sebelumnya, tahun 2004, Sholeh juga mendapatkan penghargaan Satya Lencana Pendidikan sebagai guru berprestasi dan berdedikasi tinggi.

Sholeh juga menjadi juara umum Lomba Kompetensi Guru (LKG) tahun 1997, sehingga ia mendapatkan hadiah rumah seharga Rp 90 juta dari Presiden RI kala itu, Soeharto. Kemudian tahun 2001 dan 2002, Shaleh juga meraih juara kedua lomba LKG.

IMAN DAN TAKWA

Sholeh memulai kiprahnya sebagai pengajar pada 1985, dengan menjadi guru agama Islam di STM 26 Pembangunan, Jakarta. Kala itu, Sholeh melihat ada perubahan perilaku pada sejumlah siswanya. Setelah diselidiki, ternyata mereka mendapatkan doktrin yang dikenal dengan sebutan NII (Negara Islam Indonesia).

Sholeh merasa heran karena doktrin NII mampu mengubah sikap para pengikutnya dalam waktu singkat. Sedangkan pendidikan agama Islam di sekolah, yang diberikan selama tiga tahun, tidak mampu merubah perilaku siswa segampang itu.

Yang dipikirkan Sholeh selanjutnya bukan lagi doktrin NII, melainkan bagaimana mengemas metode pengajaran agama Islam di sekolah. Setelah melakukan penelitian, sholeh menemukan beberapa kelemahan dari metode pengajaran selama ini. ”Penilaian pada pendidikan agama Islam itu berdasarkan penilaian dakwah, dan lebih berorientasi kognitif,” kata Sholeh.

Melihat kelemahan ini, Sholeh ingin memperbaikinya dengan merubah pola pendidikan agama Islam, dan mengubah strategi penilaian pendidikan agama. Sebelumnya nilai agama siswa itu diberikan oleh guru. Tapi Sholeh merubahnya dengan nilai agama yang siswa dapatkan berasal dari diri mereka sendiri. Caranya, untuk mendapatkan nilai agama, para siswa harus mengikuti kegiatan mentoring di kelas. Kemudian siswa juga wajib melakukan kegiatan mandiri berupa praktek keagamaan, seperti salat berjamaah dan salat Jumat, baik di sekolah, di rumah atau di masyarakat.

Jika ingin mendapatkan nilai, maka siswa harus mengumpulkan bukti bahwa mereka memang benar melakukan praktek keagamaan. Untuk dapat bukti itu siswa harus minta tanda tangan dari guru lain yang bukan guru agama, dan orang lain yang bukan guru, termasuk orang tua, yang menjelaskan bahwa ia memang rajin beribadah.

Model inilah yang disebut oleh Sholeh sebagai metode Imtak (Iman dan Takwa). ”Imtak adalah pengembangan model pembelajaraan pendidikan agama Islam,” kata Sholeh. Menurut dia, pendidikan agama Islam tidak hanya harus dilakukan di kelas, tapi seharusnya terus dilakukan selama 24 jam sehari.

Model ini sempat diprotes para guru lain. Namun Sholeh menjelaskan bahwa tugas mengajarkan agama Islam kepada siswa, bukan hanya diemban guru agama. Melainkan tugas semua muslim.

Untuk mengetahui keberhasilan model pembelajaran agama yang ia kembangkan, Sholeh melakukan pengujian. Di satu kelas, ia mengajar dengan cara konvensional, yaitu dengan ceramah dan sesi tanya jawab. Sedangkan di kelas lain, ia mengajar dengan model Imtak.

Di kelas Imtak, Sholeh menjelaskan suatu tema dan memberikan tugas kepada siswa untuk mencari dan menyalin ayat dan hadist. Dalam memberikan nilai terhadap hasil tugas siswa, sholeh tidak membatasi tempat dan waktu. Kapan dan di mana pun siswa boleh meminta nilai dari dia. ”Kadang, baru turun dari motor, siswa sudah menondong minta nilai. Saya paraf dan berikan nilai A, tanpa saya koreksi”, kata Sholeh. Memang, Sholeh tidak pernah mengkoreksi tugas siswanya. Karena Sholeh yakin bahwa dalam mengerjakan tugas, siswa akan bersikap jujur.

Sholeh memberikan nilai antara A (setara dengan angka 10) hingga D (setara dengan angka 4). Bagi siswa yang bisa menyelesaikan tugas lebih awal, nilainya akan lebih tinggi. Jadi, nilai tergantung pada keaktifan siswa.

Dari hasil pengujiannya itu, Sholeh melihat 95% anak yang diuji-coba dengan model ini lebih berhasil mengubah perilaku keagamaannya. Kemudian konsep model ini dituangkan oleh Sholeh dalam karya tulis dan diikutkan LKG 1997. Ternyata ia mendapat juara pertama.

SOLUSI UNTUK TAWURAN

Pada 2001, Sholeh mulai berusaha memperkenalkan model Imtak ke guru agama Islam di sekolah-sekolah lain. Waktu itu ada lima sekolah yang kemudian mengikuti jejak Sholeh, dan hasilnya cukup positif. Kemudian Sholeh mempresentasikan model ini di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud) DKI Jakarta bidang Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur).

Ternyata, konsep Imtak hasil kreasi Sholeh diterima oleh Suharyanto, yang waktu itu menjadi kepala bidang Dikmenjur (Sekarang Kepala Sub Direktorat SMK). Suharyanto menangkap positif model ini, dan berniat menerapkannya untuk menangani tawuran pelajar. Maklum, kala itu tawuran pelajar sangat marak, sehingga ada istilah tiada hari tanpa tawuran pelajar. Suharyanto berharap metode Imtak bisa memperbaiki citra SMK, yang kala itu paling banyak melakukan tawuran.

Suharyanto meminta Sholeh membuat disain baru pengembangan Imtak sehingga bisa dipakai sekolah yang pelajarnya banyak melakukan tawuran. Akhirnya, melalui model Imtak, guru BP, guru bidang kurikulum, kepala sekolah dan tenaga pendidik lainnya diberikan pelatihan agar bisa memberikan mentoring dengan pendekatan Dakwah Sistem Langsung (DSL). DSL adalah pembinaan keislaman dengan pendekatan teman sebaya dalam bentuk kelompok yang terdiri dari sepuluh sampai lima belas siswa.

Penerapan model Imtak dengan pendekatan DSL ternyata lumayan berhasil. Tingkat tawuran pelajar tahun 2001 menurun. Dari 16 titik tawuran di DKI Jakarta, jumlah kasus tawuran turun dari 122 kasus menjadi 70 kasus pada tahun 2003. SMK yang menerapkan DSL waktu itu adalah SMK Poncol, SMK Bahariawan, SMK Budut dan sekolah lain yang dikenal sering melakukan tawuran. Saat ini ada 150 sekolah di DKI yang mengembangkan model ini.

”Jadi kalau masih ada sekolah yang pelajarnya tawuran, itu berarti pendidikan Imtaknya belum dilakukan,” ujar Sholeh. Soleh sudah pernah panjang lebar memaparkan solusi menyelesaikan masalah tawuran pelajar di internet.

Sholeh tak cuma mendisain model Imtak. Ia juga mengembangkan model SKKS (Sistem Kredit Kegiatan Kesiswaan), untuk mendorong prestasi siswa. ”Melalui sistem ini, aktivitas siswa lebih dihargai, baik aktivitas yang dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah,” kiata Sholeh. Misalnya, siswa mengikuti lomba basket di tingkat RT. Kalau menang, ia akan mendapatkan skor 1. Kalau menang di tingkat kecamatan, siswa mendapatkan skor 2. ”Skor-skor itu menjadi bagian penilaian akhir anak,” kata Sholeh.

Menurut Sholeh, kadang-kadang sekolah sering melakukan justifikasi terhadap anak yang kurang berprestasi di bidang akademik. Padahal si anak mempunyai prestasi di bidang lain, seperti di bidang olahraga. Nah, model SKKS akan menilai prestasi siswa dari segala aspek, bukan hanya dari prestasi akademiknya saja. Pada tahun 2001, Sholeh menerima penghargaan untuk model SKKS yang dikembangkannya itu.

Kemudian pada tahun 2002, kembali Sholeh mengikuti LKG, dan meraih juara kedua. Dalam LKG itu, Sholeh menulis tentang unit produksi sebagai replika praktek kerja siswa. Dalam mengembangkan unit produksi atau unit usaha di sekolah, Sholeh bekerja sama dengan sebuah perusahaan obat. Unit usaha tersebut dimodali oleh sekolah, tapi dikelola oleh siswa sendiri, dari mulai perencanaan, pelaksanaan, promosi, penjualan sampai kepada hasil.

”Dengan didirikan unit usaha ini, maka ada tempat untuk praktek kerja siswa,” kata Sholeh. Unit usaha ini juga melatih para siswa untuk memasarkan suatu produk. Untuk mendorong semangat siswa, sekolah membebaskan membayar uang sekolah selama beberapa bulan bagi siswa yang dapat memenuhi target tugasnya dalam unit usaha.

Pada awalnya para orang tua siswa sempat protes kepada pihak sekolah karena mereka mengira anaknya tidak belajar di sekolah, malah disuruh jualan. Namun Sholeh memberikan penjelasan kepada para orang tua, bahwa unit usaha di sekolah hanya sarana untuk praktek kerja. ”Para orang tua pun akhirnya mengerti, dan malah mendukung,” kata Sholeh.

JADI JURI LKG

Karena terus mendapatkan juara di LKG, Sholeh tidak dibolehkan ikut LKG lagi. Tapi Sholeh diminta untuk menjadi juri LKG di tahap awal yang menyeleksi naskah yang masuk. Sholeh menjadi juri tahap awal selama tiga tahun berturut-turut, yaitu 2003, 2004 dan 2005. ”Ada sekitar 1.800 naskah yang masuk dari para peserta. Tapi herannya naskah yang saya nilai, umumnya jadi juara,” kata Sholeh sambil tersenyum.

Sholeh juga kreatif menulis. Ia telah menghasilkan banyak artikel, beberapa buku dan modul. Salah satu hasil tulisannya yang berjudul ”Mairil, Satu Bentuk Penyimpangan Seksual di Kalangan Santri”, pernah diterbitkan sebuah majalah Psikologi di Jakarta. Mairil adalah istilah di pesantren untuk perbuatan homoseksual. Sholeh juga menjadi editor sebuah penerbit. ”Padahal saya tidak punya keahlian jurnalitik, hanya modal ingin belajar saja,” ujar Sholeh, merendah.

Sholeh sudah memiliki hobi menulis sejak duduk di bangku PGA (Pendidikan Guru Agama) –setara dengan SMA. Sholeh paling suka membuat puisi. Di samping itu, Sholeh juga punya hobi membaca.

Sholeh dilahirkan di Pati, Jawa Tengah, dari pasangan H. Dimyathi dan Daryah. Sholeh yang lahir tanggal 17 Oktober 1954, adalah anak pertama dari 9 bersaudara. Ayahnya adalah pensiunan veteran pejuang tahun 1945. sedangkan ibunya adalah pedagang.

Sholeh tumbuh di lingkungan santri. Ada 52 pesantren berada di sekitar rumahnya. Tapi meski belajar di pesantren, Sholeh tidak pernah tinggal di pondok pesantren. Ia tetap tinggal di rumah membantu ibunya berjualan. Atau terkadang menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga.

Tidak ada cita-cita jadi guru di benak Sholeh waktu ia kecil. ”Saya hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain,” kata Sholeh. Tapi watak kepemimpinan dan rendah hatinya sudah tampak sejak kecil. Watak itulah yang ia bawa hingga dewasa. Di sekolahnya kini Sholeh memposisikan dirinya sebagai pengayom. Sholeh sangat memperhatikan persoalan-persoalan sekolah, siswa dan para guru. Ia tak segan memberikan nasihat atau bimbingan kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Untuk menjalankan peran sekolah secara benar, Sholeh membuat sistem mekanisme kerja terlebih dahulu. Sholeh membuat dulu standar operasional prosedur organisasi, sehingga setiap warga sekolah mengetahui tugas dan fungsi pokoknya. ”Dengan begitu, setiap langkah dan kebijakan yang diambil tidak akan melenceng dari sistemnya,” kata Sholeh.

Setelah lulus dari PGA, Sholeh kemudian meneruskan pendidikan ke IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tahun 1974. Sebelumnya Sholeh sempat mencicipi kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, tapi tidak ia teruskan karena terbentur biaya. ”Waktu itu jaman sedang susah. Orang antri untuk dapat beras. Banyak yang hanya bisa makan bulgur, jagung merah,” kenangnya.

Selama kuliah, Sholeh tinggal di tempat indekos di Yogyakarta. Untuk mengirit duit kiriman orang tuanya, ia menjual jasa sebagai juru masak untuk keluarga yang punya tempat indekos. ”Dengan uang kiriman Rp 10.000 dan beras 10 liter, per bulan, saya tak bisa membeli apa-apa. Beras pun sering tak cukup,” kata Sholeh. ”Tapi dengan jadi juru masak, saya mendapat imbalan makan gratis,” Sholeh menambahkan.

MASUK TKS BUTSI

Tahun 1980, Sholeh lulus dari IAIN. Kemudian Sholeh memilih masuk ke TKS BUTSI (Tenaga Kerja Sukarela Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia) dan ditempatkan di Jakarta. Pada tahun ketiga Sholeh di TKS BUTSI, ia ditawari program pertukaran pekerja untuk belajar, atau biasa disebut pertukaran pelajar. Lokasi penempatannya ada tiga pilihan, yaitu Papua, Timor-Timor dan luar negeri.

Sholeh bingung mau memilih yang mana. Ia berpikir, kalau pergi ke Papua, ia takut terserang malaria. Seperti banyak diberitakan kala itu bahwa di Papua masih ada wabah malaria. Kalau pergi ke Timor-timor ia takut terkena peluru nyasar karena kala itu masih terjadi perang. Sedangkan kalau pergi ke luar negri, ia tidak percaya diri karena bahasa Inggris-nya kacau balau. Namun, akhirnya Sholeh memilih luar negeri.

Sholeh mengambil les bahasa Inggris intensif sebelum ujian penyaringan program pertukaran pelajar. Ia serius mempersiapkan bahasa Inggris-nya, sampai-sampai tak mau lagi berhubungan dengan teman-temannya. Sholeh tak mau diganggu. ”Bahkan ada surat dari orangtua, tidak saya buka, sampai les bahasa Inggris kelar,” kata Sholeh sambil tertawa. Ternyata usahanya membawa hasil. Ia lulus les bahasa Inggris, dan lulus pula dalam seleksi untuk program pertukaran pelajar. Ia akan ditempatkan di Filipina.

Sebelum berangkat ke Filipina, Sholeh pulang ke rumah orang tuanya di Pati, Jawa Tengah, untuk pamit. Namun tidak terduga, sampai di rumah Sholeh dinikahkan dengan gadis pilihan orangtuanya. Kemudian Sholeh kembali ke Jakarta, dan melapor ke Departemen Tenaga Kerja –yang menggelar program pertukaran pelajar itu.

Ternyata ada peraturan yang melarang menikah kepada para peserta program pertukaran pelajar. Apa daya, akhirnya Sholeh batal berangkat ke Filipina. Dia malah dikirim ke Bandung untuk mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) di Akademi Tenaga Pekerjaan Umum (ATPU).

Di ATPU, Sholeh belajar teknik. Tentu bukan urusan gampang bagi Sholeh yang sebelumnya lebih banyak belajar agama. ”Bayangkan, saya yang memiliki latar belakang pendidikan agama di IAIN, harus belajar teknik,” katanya. Tapi Sholeh bertekad harus bisa, supaya bisa lulus dari ATPU. Dan, ia berhasil. Setelah tamat dari ATPU, Sholeh ditugaskan menjadi Petugas Lapangan Proyek (PLP).

Kerena dinilai berhasil dalam menjalankan tugasnya sebagai PLP, Sholeh diikutkan dalam pelatihan teknisi proyek. Selesai pelatihan, Sholeh menjadi kepala teknisi proyek. Namun karena sesuatu hal, Sholeh akhirnya keluar dan pindah bekerja ke Hotel Indonesia (HI). Di HI Sholeh mengurusi manajemen koperasi. Tapi ia hanya bertahan 6 bulan, lalu mengundurkan diri.

ABDI PENDIDIKAN

Tahun 1984, Sholeh ikut tes pegawai negeri sipil dan lulus. Kemudian tahun 1985 ia diangkat jadi guru agama di STM 26 Pembangunan, Jakarta. Di sinilah ia meneratas kariernya sebagai pengajar sejati. Dunia pendidikan akhirnya menjadi ladang pengabdiannya.

Pada 1998, Sholeh mengikuti pelatihan kepala sekolah. Dan, tahun 2000 ia benar-benar diangkat menjadi kepala sekolah di SMK 20, Jakarta Selatan. Di sekolah itu Sholeh membuat terobosan dengan membuka program perbankan syariah. Program ini dibuka atas kerja sama SMK 20 dengan Bank Muamalat. ”Ini program pertama yang dibuka di Indonesia,” ujar Sholeh bangga.

Sekarang sudah banyak SMK yang membuka program ini. Sholeh menjadi kepala SMK 20 selama 4 tahun 6 bulan. Kemudian ia mengambil kuliah di STIM, tapi karena kesibukannya, ia agak lambat menyelesaikan pendidikannya, dan baru bisa menggondol gelar S2 tahun 2005.

Sebelumnya, tahun 2004, Sholeh dipindahkan ke SMKN 56 Teknologi di Pluit, Jakarta Utara. Sebelumnya sekolah ini bermasalah, tapi setelah Sholeh memimpin di situ mulai membaik. Manajemen menjadi lebih baik. Sarana dan prasarananya pun ditingkatkan oleh Sholeh. ”Waktu saya masuk dulu ke sana, kondisi komputernya masih pentium satu, sekarang sudah pentium 4,” kata Sholeh. Bahkan tahun 2005, SMK 56 56 memenangi lomba net kuis se- Jakarta.

Kini, Sholeh masih menyimpan satu obsesi. Ia ingin sekolah yang dipimpinnya menjadi sekolah bertaraf internasional. ”Mungkin saya tidak bisa mencapainya, karena keterbatasan waktu,” kata pria berumur 52 tahun itu. ”Tapi saya ingin mengarahkannya menuju ke sana,” Saleh menambahkan. Ia masih tetap bersemangat meski sebentar lagi harus pensiun.