Tentang Pengembangan Diri dalam KTSP
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.*))
A. Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.
Dari ketiga peraturan tersebut memuat
beberapa hal penting diantaranya bahwa satuan pendidikan dasar dan
menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan istilah
KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga
komponen yaitu: (1) Mata Pelajaran; (2) Muatan Lokal dan (3)
Pengembangan Diri.
Komponen Pengembangan Diri merupakan
komponen yang relatif baru dan berlaku untuk dikembangkan pada semua
jenjang pendidikan. Sebagai sesuatu yang dianggap baru, kehadirannya
menarik untuk didiskusikan dan diperdebatkan, Sejumlah pertanyaan banyak
diajukan diantaranya saja : Apa hakekat Pengembangan Diri itu ? dan
Bagaimana pula pelaksanaan kegiatan Pengembangan Diri di sekolah ?
Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan
dipaparkan secara teoritik tentang hakekat pengembangan diri dan
beberapa alternatif pemikiran tentang pelaksanaan kegiatan pengembangan
diri di sekolah, untuk dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan dalam
kegiatan Pengembangan Diri di sekolah-sekolah, sehingga kegiatan
Pengembangan Diri di sekolah lebih dapat dipertanggungjawabkan.
B. Hakikat Pengembangan Diri
Penggunaan istilah Pengembangan Diri
dalam kebijakan kurikulum memang relatif baru. Kehadirannya menarik
untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun dalam prakteknya. Jika
menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan, khususnya psikologi
pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya dapat
disepadankan dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim
digunakan dan banyak dikenal. Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality).
Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau
self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian,
yang di dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan
cita-cita, baik yang disadari atau pun yang tidak disadari. Aku yang
disadari oleh individu biasa disebut self picture (gambaran diri),
sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the self
(aku tak sadar) (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005). Menurut Freud
(Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan
eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan
mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk membedakan antara
hal-hal terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal yang terdapat
dalam dunia luar.
Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada yang realistis atau justru
tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap perkembangan
kepribadiannya, terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan
realistis memungkinkan untuk memiliki kepribadian yang sehat. Namun,
sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis boleh jadi akan
menimbulkan pribadi yang bermasalah. Kepercayaan akan dirinya yang
berlebihan (over confidence) menyebabkan seseorang dapat bertindak
kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung melabrak norma dan
etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang lain. Selain
itu, orang yang memiliki over confidence sering memiliki sikap dan
pemikiran yang over estimate terhadap sesuatu. Sebaliknya kepercayaan
diri yang kurang, dapat menyebabkan seseorang cenderung bertindak
ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian. Kepercayaan
diri yang berlebihan maupun kurang dapat menimbulkan kerugian tidak
hanya bagi dirinya namun juga bagi lingkungan sosialnya.
Begitu pula, setiap orang memiliki sikap
dan perasaan tertentu terhadap dirinya. Sikap akan diwujudkan dalam
bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya, sedangkan perasaan
dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak senang akan keadaan
dirinya. Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga
diri (penilaian diri), yang menurut Maslow merupakan salah satu jenis
kebutuhan manusia yang amat penting. Sikap dan mencintai diri yang
berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan mental, biasa disebut
narcisisme. Sebaliknya, orang yang membenci dirinya secara berlebihan
dapat menimbulkan masochisme.
Disamping itu, setiap orang pun memiliki
cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang tidak realistis dan berlebihan,
serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir dengan
kegagalan yang pada akhirnya dapat menimbulkan frustrasi, yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya,
orang yang kurang memiliki cita-cita tidak akan mendorong ke arah
kemajuan.
Berkenaan dengan diri atau ego ini, John
F. Pietrofesa (1971) mengemukakan tiga komponen tentang diri, yaitu :
(1) aku ideal (ego ideal); (2) aku yang dilihat dirinya (self as seen by
self); dan (3) aku yang dilihat orang lain (self as seen by others).
Dalam keadaan ideal ketiga aku ini persis sama dan menunjukkan
kepribadian yang sehat, sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan yang
signifikan diantara ketiga aku tersebut merupakan gambaran dari
ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.
Dengan memperhatikan dasar teoritik
tersebut di atas, kita bisa melihat arah dan hasil yang diharapkan dari
kegiatan Pengembangan Diri di sekolah yaitu terbentuknya keyakinan,
sikap, perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis,
sehingga peserta didik dapat memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
C. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Diri
Secara konseptual, dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 kita mendapati rumusan
tentang pengembangan diri, sebagai berikut :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
Berdasarkan rumusan di atas dapat
diketahui bahwa Pengembangan Diri bukan merupakan mata pelajaran yang
harus diasuh oleh guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan kegiatan
pengembangan diri jelas berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar mata pelajaran. Seperti pada umumnya, kegiatan belajar mengajar
untuk setiap mata pelajaran dilaksanakan dengan lebih mengutamakan pada
kegiatan tatap muka di kelas, sesuai dengan alokasi waktu yang telah
ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran reguler), di bawah
tanggung jawab guru yang berkelayakan dan memiliki kompetensi di
bidangnya. Walaupun untuk hal ini dimungkinkan dan bahkan sangat
disarankan untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran di luar kelas guna
memperdalam materi dan kompetensi yang sedang dikaji dari setiap mata
pelajaran.
Sedangkan kegiatan pengembangan diri
seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif),
melalui berbagai jenis kegiatan pengembangan diri. Salah satunya dapat
disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang disediakan
sekolah, di bawah bimbingan pembina ekstra kurikuler terkait, baik
pembina dari unsur sekolah maupun luar sekolah. Namun perlu diingat
bahwa kegiatan ekstra kurikuler yang lazim diselenggarakan di sekolah,
seperti: pramuka, olah raga, kesenian, PMR, kerohanian atau jenis-jenis
ekstra kurikuler lainnya yang sudah terorganisir dan melembaga bukanlah
satu-satunya kegiatan untuk pengembangan diri.
Di bawah bimbingan guru maupun orang lain
yang memiliki kompetensi di bidangnya, kegiatan pengembangan diri dapat
pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di luar jam efektif yang
bersifat temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok, permainan
kelompok, bimbingan kelompok, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang
bersifat kelompok. Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat
kelompok, kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan pula melalui
kegiatan mandiri, misalnya seorang siswa diberi tugas untuk mengkaji
buku, mengunjungi nara sumber atau mengunjungi suatu tempat tertentu
untuk kepentingan pembelajaran dan pengembangan diri siswa itu sendiri.
Selain kegiatan di luar kelas, dalam
hal-hal tertentu kegiatan pengembangan diri bisa saja dilakukan secara
klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini tidak dijadikan
andalan, karena bagaimana pun dalam pendekatan klasikal kesempatan siswa
untuk dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minatnya relatif terbatasi. Hal ini tentu saja
akan menjadi kurang relevan dengan tujuan dari pengembangan diri itu
sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan tentang pengembangan diri di
atas.
Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya,
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terjadi pengurangan jumlah
jam efektif setiap minggunya, namun dengan adanya pengembangan diri maka
sebetulnya aktivitas pembelajaran diri siswa tidaklah berkurang, siswa
justru akan lebih disibukkan lagi dengan berbagai kegiatan pengembangan
diri yang memang lebih bersifat ekspresif, tanpa “terkerangkeng” di
dalam ruangan kelas.
Kegiatan pengembangan diri harus
memperhatikan prinsip keragaman individu. Secara psikologis, setiap
siswa memiliki kebutuhan, bakat dan minat serta karakateristik lainnya
yang beragam. Oleh karena itu, bentuk kegiatan pengembangan diri pun
seyogyanya dapat menyediakan beragam pilihan.
Hal yang fundamental dalam dalam kegiatan
Pengembangan Diri bahwa pelaksanaan pengembangan diri harus terlebih
dahulu diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat dan
minat, yang dapat dilakukan melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes
bakat, tes minat dan sebagainya) maupun non tes (skala sikap, inventori,
observasi, studi dokumenter, wawancara dan sebagainya).
Dalam hal ini, peranan bimbingan dan
konseling menjadi amat penting, melalui kegiatan aplikasi instrumentasi
data dan himpunan data, bimbingan dan konseling seyogyanya dapat
menyediakan data yang memadai tentang kebutuhan, bakat, minat serta
karakteristik peserta didik lainnya. Data tersebut menjadi bahan dasar
untuk penyelenggaraan Pengembangan Diri di sekolah, baik melalui
kegiatan yang bersifat temporer, kegiatan ekstra kurikuler, maupun
melalui layanan bimbingan dan konseling itu sendiri.
Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan Pengembangan Diri tidak identik dengan Bimbingan dan Konseling.
Bimbingan dan Konseling tetap harus ditempatkan sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan di sekolah dengan keunikan karakteristik
pelayanannya.
Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan
dan konseling di sekolah kemungkinan besar akan menggunakan konsep baru
menggantikan Pola 17 yang selama ini diterapkan. Ke depannya kemungkinan
akan digunakan konsep baru yang lebih dikenal sebutan Bimbingan dan
Konseling Komprehensif dan Pengembangan (Developmental and Comprehensive Guidance and Counseling), dimana layanan Bimbingan dan Konseling lebih bersifat menyeluruh (guidance for all) dan tidak lagi terfokus pada pendekatan klinis (clinical atau therapeutical approach) akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan pengembangan (developmental approach). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan dari kedua pendekatan tersebut adalah :
Pendekatan Pengembangan :
- Bersifat pedagogis
- Melihat potensi klien (siswa)
- Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
- Menggembirakan klien (siswa)
- Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
- Bersifat humanistik- religius
- Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
- Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
Pendekatan Klinis (Model Lama):
- Bersifat klinis
- Melihat kelemahan klien
- Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)
- Konselor serius
- Klien (siswa) sering tertutup
- Dialog menekan perasaan klien
- Klien sebagai obyek
Dengan demikian, layanan Bimbingan dan
Konseling yang memiliki fungsi pengembangan, seperti layanan
Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok kiranya perlu lebih
dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi frekuensi maupun intensitas
pelayanannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa
kegiatan pengembangan diri akan mencakup banyak kegiatan sekaligus juga
banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan
pengorganisasian tersendiri. Namun secara prinsip, bahwa pengelolaan dan
pengorganisasian pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk melayani
seluruh siswa agar dapat mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai
bakat, minat, dan kebutuhannya masing-masing dan pengembangan diri
menjadi wilayah garapan bersama antara komponen pembelajaran dan
komponen Bimbingan dan Konseling di sekolah dengan keunikan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing.
D. Kesimpulan
Pengembangan Diri di sekolah merupakan
salah satu komponen penting dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan
dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada
gilirannya dapat mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian
yang sehat dan utuh.
Kegiatan pengembangan diri dapat
dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun seyogyanya lebih
banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui
kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual
maupun kelompok.
Pengembangan diri harus memperhatikan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik dan bimbingan dan
konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk mengidentikasi
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik melalui kegiatan
aplikasi instrumentasi dan himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam
berbagai kegiatan pengembangan diri.
Kegiatan pengembangan diri akan
melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh
karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya
kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang banyak mengilhami
ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan
berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah :
“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkan ke dalam cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Di sana tidak akan ada paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian. Apabila mereka ingin memanjat atau berski, kita akan membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan itu. Apabila mereka ingin mengidentifikasi tumbuhan gunung tinggi atau burung, kita akan mengusahakan diperolehnya pengetahuan itu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki kedambaan akan adanya kegiatan atau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya duduk diam seperti kaum penghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin memandangi awan berarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik hujan yang menitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itu semua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah, ketakutan, ide, harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai muncul kembali ke permukaan…” (Combie White, 1997).
Sumber Bacaan :
Calvin
S. Hall & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis);
Psikologi Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta : Kanisius.
Depdiknas.
2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,. Jakarta
: Depdiknas.
____.
2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
____,
2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah,
Jakarta : Depdiknas.
E. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep,Karakteristik dan Implementasi.Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
———. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Pietrefosa, J.F. 1971. The Authentic Counselor. Chicago : Rand McNally College Pub. Co.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta.
Roger
Combie White. 1997. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom
Practice (Terj. Aprilia B. Hendrijani. Buckingham : Open University
Press
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah Pengawas Bimbingan dan Konseling
Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan Dosen Pengajar di FKIP – UNIKU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar